Jumat, 01 Juli 2011

CONTOH ESAI


Administrasi Vs. Manajemen
Bottom of Form

Kita sudah sering mendengar kata administrasi dan manajemen. Administrasi umumnya dikaitkan dengan surat-menyurat dan dokumen, sedangkan manajemen, seperti kita tahu, adalah serangkaian aktivitas mulai dari perencanaan hingga pengendalian. Yang kadang kala tidak kita sadari adalah kita sering mencampuradukkan keduanya di dalam kegiatan organisasi: administrasi disamakan dengan manajemen, dan manajemen adalah administrasi. Akibatnya, tujuan organisasi pun tidak jelas. Apa yang terjadi?


Saya ambil contoh kasus penyelenggaraan ibadah haji. Beruntung sekali saya dan istri tahun ini diizinkan Allah Swt. menunaikan rukun Islam yang kelima. Perjalanan udara dari Jakarta ke Jeddah, alhamdulillah cukup lancar. Saya menyaksikan pencampuradukan administrasi dan manajemen justru ketika tiba di Jeddah. Kami butuh waktu berjam-jam lamanya sejak mendarat hingga masuk bus menuju ke kota suci Mekkah. Ternyata, atas nama manajemen yang prudent, otoritas Kerajaan Arab Saudi perlu melakukan berbagai pengecekan dan pemeriksaan, khususnya paspor, yang katanya adalah salah satu bentuk aktivitas pengendalian. Namun kalau kita tanya apa tujuan penyelenggaraan ibadah haji, hampir pasti jawabannya tidak akan bergeser dari (berfokus pada) jemaah haji: apakah itu kepuasaan, kenyamanan, keselamatan, keamanan dan sejenisnya. Jika memang demikian, lalu mengapa justru jemaah yang jadi “korban”? Mereka harus menunggu tanpa kepastian waktu. Di sinilah, menurut saya, terjadi salah kaprah.


Kita harus ingat bahwa manajemen adalah aktivitas untuk mencapai tujuan (goal, objective). Dengan kata lain, tujuan menentukan bentuk aktivitasnya. Dalam manajemen, aktivitas yang melingkupi korporat (seluruh organisasi) dikenal sebagai strategi korporat. Beda dari administrasi yang justru menekankan pada sisi aktivitas. Maksudnya, bentuk aktivitas amat menentukan aktualisasi tujuan. Jika administrasi dicampuradukkan dengan manajemen, yang terjadi: organisasi sulit mencapai tujuan yang telah ditetapkan karena bentuk aktivitas tidak boleh atau tidak bisa disesuaikan. Saya tidak mengatakan bahwa manajemen identik dengan tujuan menghalalkan segala cara. Dalam manajemen tidak ada itu “segala cara” sebab cara atau strategi harus dirumuskan dengan cermat agar mencapai tujuan. Jadi tidak bisa “segala cara” alias asal-asalan.


Pencampuradukan administrasi dan manajemen sering kita jumpai di Tanah Air. Kita mungkin acap kali mengalami bagaimana berbelit-belitnya mengurus berbagai perizinan. Saking berbelitnya, sampai memakan waktu bertahun-tahun! Bagaimana tidak bila kita harus mengurus izin dari tingkat desa atau kelurahan hingga tingkat kementerian (nasional). Akibatnya, bisnis tidak jalan, sektor riil pun tidak bergerak. Kalau kita komplain, jawabannya hampir selalu klise: “aturannya memang begitu” atau “kami harus mengikuti peraturan”. Peraturan itulah administrasi. Kondisi demikian telah terjadi puluhan tahun lamanya. Orde Reformasi yang katanya lebih baik dari Orde Baru nyatanya belum mampu mengatasi permasalahan tersebut. Bahkan di sejumlah hal terkesan dan terasa lebih buruk, mungkin karena adanya otonomi daerah yang kebablasan: otonomi daerah yang melahirkan raja-raja kecil di kabupaten/kota dan provinsi. Akhirnya tercipta persepsi seperti benang kusut, tidak tahu lagi apa dan di mana ujung pangkalnya. Apa benar begitu kusutnya sampai tidak bisa diurai lagi?


Menurut saya, kita masih bisa mengurainya. Kunci awalnya adalah memisahkan manajemen dari administrasi. Mengapa manajemen yang perlu dipisahkan? Karena manajemen inilah yang akan menjadi paradigma di lingkungan pemerintahan. Lalu di manakah posisi administrasi? Kita tempatkan sebagai penunjang atau pendukung manajemen. Saya kira, pemosisian seperti ini amat relevan dan sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Inilah tujuan utama pemerintah. Segala bentuk aktivitas pemerintahan harus diselaraskan dengan tujuan tersebut, termasuk aktivitas administrasinya. Dengan kata lain, berbagai bentuk aktivitas administrasi yang diperkirakan atau berpotensi menghambat pencapaian tujuan harus disingkirkan. Sulitkah melakukannya? Fakta menunjukkan tidak sulit.


Saya beri contoh yang saya alami sendiri, yaitu pengurusan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) A di lingkungan Kepolisian Daerah (Polda) Metropolitan Jakarta Raya (Metro Jaya). Dulu, untuk memperpanjang SIM A, saya terpaksa harus melalui calo karena telah diciptakan kesan proses yang berbelit-belit. Belum lagi besarnya biaya yang amat bervariasi, tergantung pada kecepatan penyelesaian yang kita inginkan. Kini, saya bisa melakukan perpanjangan SIM A sendiri tanpa kesulitan berarti dan bahkan hanya memakan waktu kurang-lebih satu jam. Benar-benar efisien: mudah dan cepat. Dengan efisiensi seperti itu, tanpa harus kita ukur, kita akan tahu dan merasakan bahwa kualitas pelayanan publik pasti meningkat tajam. Saya yakin Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya telah menyingkirkan begitu banyak bentuk aktivitas administrasi guna mencapai proses pelayanan perpanjangan SIM A yang mudah dan cepat, tanpa harus melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Di sini Ditlantas Polda Metro Jaya telah mengadopsi paradigma manajemen. Manfaatnya, selain meningkatnya kualitas pelayanan, juga kepastian besaran biaya. Dengan mobil SIM keliling, tidak ada lagi biaya-biaya siluman yang harus kita keluarkan dari meja ke meja sehingga biaya aktual yang dikeluarkan bisa jauh di atas tarif resminya. Sekarang, total biaya jelas dan dibayar di muka.


Sesungguhnya, kunci sukses pengadopsian paradigma manajemen di lingkungan pemerintahan terletak di tangan aparaturnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses yang berbelit-belit terkesan sengaja diciptakan untuk menjadi sumber pendapatan tambahan, khususnya bagi oknum-oknum tertentu. Apakah mereka mau dan rela kehilangan pendapatan tambahan sementara pendapatan resminya relatif kecil? Kondisi ini mungkin lebih parah di daerah-daerah di mana banyak oknum yang membutuhkan pendapatan tambahan untuk mengembalikan dana yang sudah mereka keluarkan untuk memenangi pemilihan kepala daerah.


Maka, pengadopsian paradigma manajemen perlu diikuti dengan perubahan pola pikir (mind set) para aparatur pemerintah dan pembenahan sistem kepegawaian. Kalau kita mau objektif, ketiga hal tersebut tak hanya meningkatkan kualitas pelayanan publik tetapi juga meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) karena semakin banyaknya masyarakat yang terlayani dan membayar untuk pelayanan tersebut. Hasil PNBP tadi dapat didistribusikan kembali ke para aparatur pemerintah, tentu berdasarkan kinerja mereka masing-masing. Dengan demikian, pengadopsian paradigma manajemen, perubahan pola pikir dan pembenahan sistem kepegawaian sekaligus dapat menciptakan aparatur pemerintah yang berkinerja. Jadi, tak salah bila Presiden SBY perlu menitikberatkan pada ketiganya di masa pemerintahan beliau yang kedua. Semoga ini dapat terwujud sebelum Pemilu 2014.

Oleh: Budi W. Soetjipto, Direktur Eksekutif IPMI dan Lektor Kepala Departemen Manajemen FEUI.



Pembangunan Gerus Kearifan Lokal
Pembangunan yang selama ini dilakukan pemerintah cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berakibat pada terabaikannya hak-hak masyarakat.
Hak ulayat adat atau kearifan lokal, misalnya, makin tereduksi akibat laju mesin pembangunan yang tak afirmatif. Beberapa proyek pembangunan di Indonesia dapat dijadikan sebagai contoh. Pembangunan jalan trans-Kalimantan yang menghubungkan sejumlah kota besar di pulau itu telah menimbulkan resistensi masyarakat Dayak pedalaman. Masyarakat Dayak menilai pembangunan jalan itu akan mengubah perilaku warga dari budaya bersampan di sungai menjadi berkendaraan di jalan. Identitas suku Dayak yang selama ini terbangun atas basis sungai dikhawatirkan akan tereduksi dengan kehadiran jalan itu.
Contoh lain adalah pembangunan kawasan pertanian terpadu di Merauke. Di satu sisi hasil kebijakan itu akan bermanfaat bagi segelintir orang. Di sisi lain efek sosial politik yang ditimbulkannya berisiko sangat besar. Alih fungsi lahan di sana akan memperuncing perang suku karena masing-masing merasa hak ulayat atas tanah yang dijadikan kawasan pertanian terpadu itu diambil sepihak oleh pemerintah demi kesuksesan program itu.
Selama ini pemerintah masih berpandangan kearifan lokal tidak penting untuk dibahas dalam penyelenggaraan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun di ranah daerah. Bagi pemerintah, tindakan afirmatif pemenuhan hak masyarakat terkait proyek pembangunan adalah memberi uang ganti rugi atau ongkos lain sebagai bentuk kompensasi. Dengan mekanisme itu, pemerintah secara implisit sedang mengakuisisi ”budaya uang” ke dalam kearifan lokal masyarakat. Yang terjadi kemudian, masyarakat mengalami gegar budaya.
Itulah yang terjadi pada kasus suku Amungmue di Papua yang wilayah adatnya dikuasai PT Freeport. Mereka meninggalkan hidup tradisional mereka dengan hidup modern yang justru tak diatur dalam peraturan adat. Begitulah pemujaan pemerintah terhadap target angka pertumbuhan ekonomi yang kian tinggi. Angka pertumbuhan tinggi berarti pembangunan berhasil. Tak peduli manusia dan hak adat lenyap. Sumber daya alam kemudian menjelma jadi sektor penting untuk mendatangkan investor dalam pembangunan.
Investor datang membawa pundi-pundi, menginvestasikan, serta memberi berkah, kebaikan, dan pendapatan. Pemerintah meyakininya sebagai solusi tepat dalam redistribusi ekonomi kepada masyarakat. Lingkungan porak poranda, hutan beralih fungsi, tatanan sosial dan budaya rusak, kearifan lokal kian tereduksi. Tak pernah ini dihitung dalam pembangunan. Benda dan uang menjelma jadi ”tuhan” baru yang diyakini bisa menentukan dan membeli apa pun.
Dapat dikatakan selama ini orientasi pembangunan yang dilakukan pemerintah merupakan sebentuk arogansi karena pembangunan yang dijalankan justru lebih banyak bersisi negatif daripada bersisi positif. Karena ketidakharmonisan antara pembangunan dan kearifan lokal, tak jarang terpicu konflik komunal di semua daerah yang pembangunannya berkaitan dengan alih fungsi lahan. Sampai 2006 terdapat 140 kasus yang melibatkan 353 komunitas di wilayah pembangunan yang melibatkan sesama masyarakat lokal atau dengan pendatang: pendatang kurang mengerti rambu adat dalam masyarakat lokal. Sekitar 70 persen dari 500 kasus perselisihan pembangunan antara sektor swasta dan warga lokal selalu bersumber dari sengketa tanah. Di Kalimantan Tengah, sekitar 20 kasus sengketa dilaporkan (Budi Kurniawan, 2009).
Sejak awal
Konflik dipicu oleh kesalahan sejak awal: proses mendapatkan izin pembangunan tak melibatkan warga lokal. Terjadi tumpang tindih penguasaan lahan. Ketika persoalan terjadi, para penegak hukum menafikan hukum adat. Mereka memilih menegakkan hukum positif, padahal hukum adat ada jauh sebelum republik ini berdiri. Itu sebabnya, pemerintah sering disebut membangun tanpa karakter yang jelas. Karakter dimaksud adalah selama ini pembangunan cenderung menstigmakan simbol-simbol kearifan lokal yang tumbuh turun-temurun di masyarakat.
Pembangunan di Indonesia berjalan parsial antara Jawa dan luar Jawa karena ketiadaan konsensus bersama akan model pembangunan yang diambil dari nilai dan norma budaya masyarakat. Pembangunan di Jawa sendiri lebih bersuasana metropolis dibandingkan dengan luar Jawa yang masih agraris. Timbullah kecemburuan pembangunan karena di dalamnya tak jelas berlaku kearifan lokal. Jadi, pemerintah perlu mengakomodasi kearifan lokal dan suara masyarakat untuk merumuskan model pembangunan yang tepat bagi Indonesia. Selama ini pembangunan yang dilakukan selalu sepihak. Harapan kita kemudian adalah Indonesia memiliki karakter pembangunan yang diambil dari nilai lokal kemasyarakatannya.
Wasisto Raharjo Jati Peneliti di Warjati Development Syndicate Fisipol UGM



Inpres Moratorium, Layakkah Didukung?
Setelah lama ditunggu, mundur lima bulan dari target, Instruksi Presiden tentang Penundaan Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut—populer disebut dengan moratorium—akhirnya keluar juga.
Pasti banyak yang kecewa atas isi inpres ini karena tidak ada terobosan yang cukup berarti untuk memperbaiki tata kelola dan mengerem laju kerusakan hutan di Indonesia. Namun, mengingat ini adalah kebijakan pertama Pemerintah Indonesia selama setengah abad untuk mengurangi laju kerusakan dan memperbaiki tata kelola hutan, inpres ini layak dijadikan batu loncatan menuju moratorium yang sesungguhnya.
Pandangan skeptis tersebut ada benarnya karena sebagian besar hutan alam primer dan gambut sudah dibebani berbagai hak penggunaan hutan. Kecuali Papua, hutan alam primer yang bebas dari beban hak hanya di kawasan-kawasan konservasi yang sudah ditetapkan. Apabila hanya dilaksanakan seperti apa adanya, nilai tambah inpres ini untuk mengurangi laju kerusakan hutan dan emisi gas rumah kaca hampir nihil, tak ubahnya ibarat menggarami air laut.
Apalagi inpres ini memberi peluang pembukaan hutan primer dan lahan gambut untuk kepentingan nasional strategis, seperti geotermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, serta lahan untuk padi dan tebu. Kalau untuk geotermal, selain hutan yang dibutuhkan tak terlalu luas, juga masih konsisten dengan target kita untuk menurunkan emisi 26 persen. Namun, kalau untuk minyak dan gas, inpres ini tak akan berdampak pada penurunan emisi, malah bisa sebaliknya.
Sementara untuk lahan tebu dan padi, inpres ini sama sekali tidak menyentuh masalah utama lahan pangan di Indonesia, yaitu hilangnya sekitar 150.000 hektar lahan pertanian kelas satu setiap tahun. Kalau setiap hektar sawah menghasilkan 4 ton padi, ini setara dengan kehilangan produksi padi 600.000 ton per hektar per tahun. Jelaslah ketahanan pangan kita hanya bisa tercapai apabila ada langkah-langkah strategis untuk melindungi lahan-lahan pertanian kelas satu ini.
Pantas didukung
Walaupun ada banyak kelemahan, inpres ini tetap pantas didukung untuk memperbaiki tata kelola kehutanan. Juga karena terbukanya kemungkinan memperbaiki tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mengurangi laju kerusakan hutan.
Namun, ia dapat memberikan nilai tambah yang cukup berarti apabila dilengkapi dengan langkah-langkah berikut. Pertama, memanfaatkan hasil survei integritas KPK di Kementerian Kehutanan sebagai dasar perbaikan tata kelola perizinan. Tak hanya untuk pinjam pakai dan izin pemanfaatan kayu, juga semua perizinan di bidang kehutanan. Untuk itu, KPK diharapkan lebih terbuka melibatkan masyarakat dalam reformasi tata kelola di Kementerian Kehutanan.
Kedua, menjadikan restorasi ekosistem sebagai basis menyelamatkan hutan-hutan sekunder yang luas tutupan hutan alamnya di atas 30 persen serta memperbaiki tata kelola perizinan restorasi ekosistem untuk meningkatkan efektivitas dan memperluas lahan restorasi ekosistem.
Ketiga, tak hanya membuat peta indikatif, tetapi juga memperbaiki informasi dan intelijen tentang luas tutupan dan kondisi hutan Indonesia.
Keempat, melakukan mufakat nasional yang sungguh-sungguh mengenai benturan kepentingan antara perkebunan besar, pertambangan, serta keselamatan rakyat Indonesia dan dunia terkait dengan kerusakan lingkungan lokal dan perubahan iklim global dari cara pengelolaan hutan dan lahan kita saat ini.
Kelima, mengeluarkan kepppres moratorium konversi lahan pertanian kelas satu dan mengeluarkan peta tata ruang dan tata guna lahan yang memasukkan lahan-lahan pertanian produktif sebagai kawasan lindung yang tidak boleh dikonversikan.
Keenam, mengevaluasi semua izin yang sudah ada, baik izin hak pengusahaan hutan, izin pemanfaatan kayu, maupun hak guna usaha serta mencabut izin-izin yang pemegangnya tidak melaksanakan kewajiban sesuai aturan dan mengubah peruntukannya jadi kawasan lindung.
Ketujuh, adanya indikator keberhasilan dan diikuti pemantauan dan evaluasi yang jujur.
Jika ini dilakukan secara partisipatif dan transparan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meninggalkan warisan yang belum pernah dilakukan oleh Presiden RI sebelumnya, yakni menyelamatkan rakyat Indonesia dari bencana akibat kerusakan hutan dan ikut menyelamatkan dunia dari bencana perubahan iklim.
Oleh: Emmy Hafild Aktivis Lingkungan Hidup


ESAI (POLA PENDIDIKAN DI INDONESIA YANG HARUS DIUBAH)

PENGINTELEKTUALAN BANGSA DARI BANGKU PENDIDIKAN
by NURJAYANTI
 
Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak bagi setiap individu di zaman modern seperti ini. Rasanya orang yang tak memiliki pendidikan tak akan mampu bertahan dalam seleksi kehidupan yang semakin ketat dan sesulit sekarang ini. Kemana pun kita melangkah, setidaknya kita dapat menulis dan membaca untuk tidak tersesat di tempat yang baru kita kunjungi. Namun, untuk bersaing dalam kehidupan yang sesungguhnya, menulis dan membaca saja rasanya tidak cukup, kita juga harus memiliki keterampilan berbahasa, berhitung, dan keterampilan lainnya yang dapat menunjang kita untuk mendapatkan uang sebagai kebutuhan mutlak saat ini.
 
Saat kita menengok ke dalam sekolah-sekolah, anak-anak akan berlomba-lomba mendapatkan nilai tertinggi. Namun, apakah ketika mereka mendapatkan nilai tertinggi di kelas itu dapat menjamin dirinya menguasai materi sesuai yang diharapkan? Praktiknya, penulis sering menemukan tindakan siswa yang hanya berlomba meraih nilai tertinggi dengan menerapkan segala cara agar dapat lulus dalam semester atau ulangan bahkan UN. Sehingga, ilmu tak menjadi hal yang sangat diperhatikan yang penting memiliki nilai tinggi dan dapat di atas batas kelulusan. Dan, apakah Indonesia akan melahirkan anak-anak yang intelektual jika hanya bersaing nilai tanpa bersaing dalam ilmu yang sebenarnya?. Kita harus melakukan perubahan, berubah menjadi menusia-manusia cendik yang mampu bersaing di kanca internasional, yang bukan hanya sebagian orang, tetapi seluruhnya. Selain itu Mengapa pola penilaian dari angka harus ditinggalkan untuk menuju kata? Sudah terlalu lama kita mereduksi manusia menjadi sekadar angka-angka statistik saja sehingga membuat penulis berpendapat bahwa pendidikan kita yang selama ini berorientasi pada nilai atau angka-angka menurut saya itu salah, pelajar dididik agar belajar demi satu ijazah merupakan kesalahan yang sangat fatal dan harus diubah demi kemajuan pendidikan Indonesia.
Cara penilaian yang kurang akurat dan terkadang pilih kasih sering membuat siswa yang merasa dirinya mampu dan mendapat nilai yang tidak memuaskan dapat menjatuhkan mental siswa tersebut, sedang siswa yang kurang mampu memahami materi atau bahkan jarang masuk ke Kelas mendapatkan nilai bagus itu malah tambah membuat anak ini malas. Biasanya, faktor seperti ini dipengaruhi melalui pendekatan ke Guru atau adanya kekuasaan yang dimiliki orangtua siswa. Sehingga, Guru merasa terpaksa memberikan nilai tinggi kepadanya atau sekedar mencari muka di depan orangtua siswa tersebut.
Penulis pernah bertanya kepada salah seorang guru tentang pandangannnya mengenai pola penilaian di sekolah, apakah sudah mantap atau belum. Dan jawaban yang penulis dapatkan adalah “Sebenarnya format penilaian sudah cukup bagus, hanya saja proses penilaiannya yang tidak berjalan sesuai rel yang ditentukan, disatu sisi kita ingin penilaian yang baik demi mendapatkan kualitas SDM yang mantap tapi disisi lain, kita takut dan kasihan kalau saja anak atau siswa kita tidak lulus, jadi dilematis jadinya”. Dari kutipan percakapan penulis itu, penulis dapat merasakan adanya keinginan guru untuk mencetak anak-anak yang memiliki sumber daya manusia yang baik, namun terkendala dengan rasa kasihan dan rasa ketidakpercayaan kepada kemampuan muridnya. Karena ketidakpercayaan yang dimiliki guru inilah yang tentu membuat siswa tambah tidak percaya akan kemampuannya sendiri sehingga terciptalah “tim sukses” ketika Ujian Nasional.
 
Untuk dapat mengubah format penilai dari angka menuju kata, bisa dimulai dengan guru memberikan ulangan lisan dan memberikan penilaian langsung setelah mendengarkan jawaban dari sang siswa sehingga siswa lain tidak mendengar format penilaian itu dan tidak terjadi persaingan yang hanya untuk mendapatkan nilai tertinggi serta dapat mencegah turunya mental bagi anak yang mendapat nilai rendah. Misalnya siswa itu dapat menjawab tepat seperti yang telah diajarkan mendapat penilaian yang “luar biasa, sangat baik, atau sempurna”, untuk jawaban yang tidak begitu sempurna namun sudah cukup paham mendapatkan “baik, good,” atau kata-kata lain yang dapat membuat anak ini betambah giat belajar, untuk siswa yang menjawab kurang baik mendapat “masih perlu belajar lagi, semangat,” dan bagi siswa yang belum paham samasekali dengan materi yang ditanyakan mendapat penilaian “belum lulus, harus mengulang materi ini, atau memberikan solusi agar anak ini mudah mempelajari materi. Jadi, yang perlu ditekankan adalah jarak antara guru dan siswa harus dekat sehingga siswa dapat terbuka dengan guru, dan guru dapat melakukan pembelajaran dengan kondisi yang bersahabat. Dengan cara ini, penulis berfikir materi akan mudah dikuasai tanpa adanya rasa canggung dan segan kepada guru ketika ada hal yang belum dimengerti.
 
Disisi lain, cara pemberian nilai melalui ulangan lisan yang langsung berhadapan dengan guru membuat kesempatan untuk melakukan hal yang curang dapat diminimalisir serta penilaian dilakukan sejak awal proses pembelajaran, dan menentukan nilai anak-anak bukan dari ulangannya saja, tapi sikap serta metode guru harus memperhatikan segi psikis anak agar tidak ada ketidak seimbangan antara ahlak dan kecerdasan.
Selain itu, pendidikan Indonesia ini juga harus disesuaikan dengan tujuannya, kalau tujuannya jelas maka belajarnya pun jelas. Sistem penjurusan pun harus dilakukan sejak dini ( SD atau SMP) dengan demikian maka lulusan SMP pun sudah bisa mandiri. Hal yang paling utama adalah, orientasi nya jangan hanya terpaku pada nilai atau angka-angka, yang penting itu pemahamannya. Selain itu juga, teori yang selama ini menjadi makanan pokok, seharusnya di Imbangi dengan praktek yang lebih banyak, minimal sama frekuensinya dengan teori atau lebih banyak prakteknya. Jika di lihat dari sejarah, orang-orang pintar dunia itu kebanyakan banyak prakteknya dari pada teori, contohnya: Albert Einstein saja tidak lulus sekolahnya. Dia belajar sendiri dengan uji coba dan praktek.
 
Ujian nasional juga harus di hilangkan, mungkin lebih baik jika siswa bisa dinyatakan lulus jika bisa melakukan penemuan-penemuan baru atau bisa mempraktekkan yang telah di pelajarinya. Selain itu, juga diperlukan pendidikan moral dan religius yang banyak bagi pelajar, misalnya: bagi yang muslim, wajib bisa membaca Al-Qur’an, dan sholat lima waktu harus penuh, mungkin ada test khusus saat kelulusan ( tes baca Al-Qur’an,dll ).
Ada satu sekolah di pedalaman Salatiga, Jawa Tengah yang bernama Qorya Taybah memiliki proses pembelajaran yang sudah dapat di contoh menjadi sekolah yang mulai meninggalkan angka menuju kata. Sekolah ini menerapkan sistem pembelajaran yang disiplin ilmunya sangat tinggi, misalnya ketika mereka belajar tentang pertukangan maka sekolah itu akan memanggil tukang yang sesungguhnya untuk mengajar, sedang untuk pelajaran biologi mereka akan langsung ke Kebun jika belajar tentang tanaman. Sekolah ini terdiri atas SD, SMP, dan SMA. Dan, hal terpenting dari sekolah ini adalah tidak mewajibkan setiap siswa untuk mengikuti UN, namun bagi siswa yang ingin UN bisa pula diikutkan. Jadi, siswa yang lulus disini sudah pasti memiliki ilmu yang tidak diragukan lagi. Referensi mengenai sekolah ini pun telah tertulis rapi dalam sebuah buku dan CD lagu ciptaan siswa-siswa mereka sendiri.
Untuk dapat meninggalkan angka menuju kata tidak akan begitu sulit jika pemerintah dan jajaran lain yang berhubungan dengan dunia pendidikan mau bekerja sama untuk mengubah pola penilaian yang sudah ada. Sehingga jika pola penilaian ini sudah resmi maka para perusahaan atau tempat kerja lainnya akan mengubah syarat untuk membuka lowongan kerja bagi calon tenaga kerja baru tanpa mewajibkan adanya raport dan ijazah. Disamping itu kesadaran bagi setiap individu baik itu peserta didik maupun pendidik sangat diperlukan agar mereka mau bekerja keras dalam melaksanakan setiap kewajiban mereka sesuai dengan rel yang telah ditentukan. Sehingga pencetakan manusia-manusia intelek di Indonesia akan mudah tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar